"WELCOME"


Saya ucapkan terimakasih kepada para pembaca yang telah melihat sejenak, dan membuka bLog ini serta membaca setiap entri-entrinya, walaupun masih banyak sesuatu yang lebih berharga yang dapat anda lakukan setiap detiknya. Alhamdulillah jika ada beberapa motivasi dan manfaat yang dapat diambil dari saripati bLog ini, atau sekedar membuat anda terhibur dan sedikit tertawa, maka hal itu adalah sebuah kebanggaan dan penghargaan besar untuk diri saya. Tak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan bLog saya ini, maka atas hal itu saya memohon maaf sebesar-besarnya kepada para pembaca, karena saya juga manusia biasa, yang kadang bahagia dan tersenyum bila kebaikan memihak saya, kadang juga marah dan berontak bila ada sesuatu yang berlawanan dengan hati saya, mudah-mudahan kedewasaan dan sifat baik selalu menyelimuti hati dan pikiran kita semua. Amiin!!


GORESAN DEMI GORESAN



Apa yang aku ceritain kali ini mungkin hanya akan menjadi sebuah kisah dalam perjalanan hidupku. Sebuah kisah yang tergores sangat tebal namun tidak akan pernah mempunyai akhir. Benar-benar goresan yang luar biasa tebal&indah, hanya sayang (sepertinya) tidak akan pernah mempunyai akhir. Menyesal? Jawabannya mungkin iya, namun mungkin juga tidak. Entahlah, yang pasti hanya luapan suka yang aku benar-benar aku rasakan, walaupun terkadang ingin sekali rasanya menjadi bagian penting dari (akhir) goresan itu.

“Goresan yang menjadi sempurna ketika mencapai ujungnya…”

Biarlah detik yang akan memberikan jawabnya. Yang pasti aku merasa gembira karena sampai saat ini (masih) berada di sana menyaksikan goresan demi goresan tertuang di atas kanvas putih itu, cantik sekali.

Awalnya goresan itu hanya terlihat seperti coretan di kertas putih. Datar sekali, tak terlihat ada penekanan yang pasti di coretan itu. Seperti ketika orang baru pertama kali belajar menulis. Tak berbentuk, tak beraturan, abstrak sekali. Tapi ternyata semua itu merupakan bagian dari goresan tebal yang sekarang tampak jelas terlihat, goresan yang tebal&indah kataku. Keindahan itu terlahir dari harmonisasi goresan-goresan itu ternyata. Mungkin banyak yang menyukai goresan-goresan tebal semata, atau mungkin juga goresan-goresan yang abstrak semata, tapi (ternyata) aku menyukai perpaduan keduanya. Perpaduan yang mampu memberikan harmonisasi yang luar biasa indah, seperti tulisan tegak bersambung yang digoreskan dengan pena yang mahal. Selaras antara tebal dan tipisnya menghasilkan goresan yang kuat, namun tetap sederhana. Hanya dengan melihatnya saja aku merasa bahagia.

Keindahan itu benar-benar merasuk di sekujur tubuhku, seperti terkena mantra sihir. Mataku terbutakan olehnya, karena ketika melihatnya, goresan itu, mataku sama sekali tak ingin berpaling. Awalnya aku benar-benar hanya senang melihat, melihat goresan demi goresan tertuang di kanvas itu. Seperti candu yang memaksaku terpana melihatnya tanpa sedikitpun keinginan untuk beranjak. Namun entah kenapa semakin banyak goresan demi goresan memenuhi kanvas itu, tangan ini rasanya ingin sekali ikut memberikan warna. Keinginan itu sangat kuat sekali, karna kulihat warnanya terlalu terang dan sedikit pucat. Seperti terlihat bingung dalam memilih warna, padahal goresan-goresannya sangat-sangat mempesona. Dalam hati aku berandai-andai, jika saja itu diberikan sedikit warna ungu dan kuning tua, pasti akan lebih indah, lebih selaras. Memang itu warnanya atau bukan, yang pasti perasaanku sangat meledak untuk ikut memberikan warna.

“Sedikit merasa menjadi seperti seorang yang cacat mata, tapi punya keinginan kuat untuk membaca…”

Sekilas orang menganggapnya (hampir) tidak mungkin. Tapi kenyataannya mereka bisa membaca tulisan. Hanya caranya saja yang berbeda dari kebanyakan orang. Cara mereka lain dari yang lainnya. Mereka menggunakan jemari tangan untuk meraba setiap tulisan yang sengaja dibuat timbul, dan voilaa! Mereka bisa membaca.

“Baru kali ini aku benar-benar yakin di setiap kesulitan akan selalu ada jalan keluar, dengan catatan kita benar-benar menginginkannya”.

Di hadapanku, penggores itu masih terlihat menikmati goresan demi goresan yang dia tuangkan. Sesekali dia memberikan warna di antara goresan-goresan itu. Seperti sebelumnya, warnanya masih terlihat terlalu terang dan sedikit pucat. Di beberapa bagian sudah tepat menurutku, tapi sekarang juga terlihat ada bagian yang terlalu gelap. Agak terlalu kontras menurutku. Darah ini mengalir deras untuk bersirkulasi menuju otak, dan jantungku terasa berdetak semakin cepat, namun hembusan nafasku masih teratur. Tanpa disadari tepat di belakang si penggores, tanganku menunjuk bagian-bagian yang menurutku masih kurang pas. Untung saja dia tidak menyadarinya, apa jadinya kalo dia menyadari apa yang aku lakukan?! Sejenak aku berpikir bagaimana caranya agar aku bisa ikut memberikan warna di kanvas itu. Tapi semuanya terhenti seketika waktu aku menyadari si penggores itu adalah seorang yang memang ahli. Sedangkan aku?siapa aku?pernah belajar menggores di kanvas pun belum. Ada jarak yang (ternyata) terbentang luas di sana, dan (sepertinya) memaksaku untuk ragu dan mengurungkan niat untuk ikut memberikan warna.

Perlahan aku melangkahkan satu langkah kaki ke belakang, sedikit menjauh. Ada perasaan ingin pergi dan beranjak dari sini. Tapi aku menikmati sekali goresan demi goresan di kanvas itu. Rasa itu akhirnya mengalahkan keinginanku untuk beranjak, sampai akhirnya aku terduduk dan lanjut menikmati goresan-goresan itu. Menikmati sekali penggores itu dalam berkreasi di atas kanvas, sepertinya hanya ada dirinya dan kanvas. Asik sekali! Ada masa di mana dia terdiam, sepertinya dia sedang berpikir. Beberapa kali dia terlihat seperti itu, dan entah untuk keberapa kalinya aku melihat seperti itu. Kali ini, ketika dia terdiam lagi, telunjukku tiba-tiba menari di atas ubin, menyapu beberapa debu yang menempel di atasnya. Beberapa saat kulakukan itu, karna kupikir penggores itu masih asik dengan pikiran dan imajinasinya. Tapi ternyata ketika kuangkat kepalaku untuk kembali menikmati goresan-goresan itu, si penggores itu sedang mengamatiku. Aku terpaku, diam, sedikit menahan nafas. Pikiranku berkecamuk. Apa yang dia pikirkan? Apakah dia marah? Ataukah dia sedih? Karena tatapannya datar-datar saja. Perasaanku bergemuruh tak karuan, dan itu terus menerus berkejaran sampai suatu saat di mana dia melemparkan senyuman yang sejuk sekali. Hanya sekejap saja, namun itu mampu menghapus semua ketakutanku.
Sepertinya dia menyadari semua yang aku lakukan, termasuk ketika telunjukku menunjuk ke arah kanvas itu. Dia menyadari aku telah memperhatikannya dari ketika kanvas itu masih kosong sampai sekarang, dan sepertinya dia menikmati itu.

“Malu menang, tapi lega rasanya”


Sejenak aku mencoba mengatur nafas karena kejadian tadi. Untunglah dia tidak tersinggung, dia justru melempar senyuman yang hangat, hangat sekali. Tiba-tiba muncul pertanyaan di kepalaku, “Apa maksud senyumannya tadi?”. Otakku bekerja keras berusaha menjawab pertanyaanku sendiri, sampai akhirnya aku sedikit menemukan jawaban yang belum tentu kebenarannya. Dia senang ada yang memperhatikannya ketika menggores di kanvas itu. Tatapanku sekarang tertuju pada punggung si penggores, kosong dan sedikit melamun. Tanpa kusadari, untuk kedua kalinya si penggores menoleh ke arahku, dia tersenyum ketika mendapatiku (masih) melamun. Pikiranku perlahan buyar dan tersadar karena aku merasa ada orang yang menatap ke arahku. Aku terkejut sekaligus malu untuk kedua kalinya. Si penggores itu mendapatiku sedang asik dengan lamunanku, dan sekali lagi dia tersenyum. Detik itu juga aku semakin yakin, si penggores itu benar-benar mengamatiku daritadi, dan aku sedikit yakin dia juga menikmati aku perhatikan. Keinginan untuk bisa ikut mewarnai kanvas itu yang tadinya mulai pudar, sekarang justru semakin kuat.

Saat ini aku hanya bisa berharap ketika dia melempar senyuman untuk ketiga kalinya, aku diijinkan untuk ikut mewarnai……..

Komentar